Thursday, October 28, 2010

WALA SUJI

Wala Suji
Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat.

Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta,

   1. - api
   2. -air
   3. -angin
   4. -tanah.

Wala Suji adalah Simbol Kesempurnaan Seseorang

Bagi Masyarakat Bugis-Makassar, Wala Suji, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah keberanian, kebangsawanan, kekayaan, dan ketampanan atau kecantikan.


Jika Anda pernah mengunjungi acara perkawinan suku Bugis-Makassar, tentu Anda akan melihat suatu baruga (gerbang) yang dikenal dengan nama Wala Suji di depan pintu rumah mempelai. Bentuk Wala Suji seperti gapura dan menyerupai bagian depan rumah panggung suku Bugis-Makassar. Atapnya berbentuk segitiga dan disangga oleh rangkaian anyaman bambu. Sebagai penghias, tak lupa diberi janur kuning.

Wala Suji atau baruga bermotif segi empat belah ketupat tersebut sudah tidak asing lagi dalam khasanah peradaban masyarakat Bugis-Makassar.Hal ini terlihat pada setiap pembuatan baruga, serta pallawa atau pagar pada acara perkawinan atau pesta adat. Bentuk segi empat pada Wala Suji ini, berakar pada kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar yang memandang alam raya sebagai sulapa eppa¡¯ wala suji (segi empat belah ketupat). Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah.

Wala suji berasal dari kata wala, yang berarti pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berharfiah putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Menurut almarhum Prof DR Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas Hasanuddin Makassar, konsep tersebut ditempatkan secara horizontal dengan dunia tengah. Masyarakat Bugis-Makassar memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan.

Secara makro, alam semesta adalah satu kesatuan yang tertuang dalam sebuah simbol aksara Bugis-Makassar, yaitu ¡®sa¡¯ (#) yang berarti seua, artinya tunggal atau esa. Begitu pula secara mikro, manusia adalah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam sulapa eppa. Berawal dari mulut manusia segala sesuatu dinyatakan, bunyi ke kata, kata ke perbuatan, dan perbuatan mewujudkan jatidiri manusia.

Dengan demikian, Wala Suji dalam dunia ini, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah kabara-niang (keberanian), akkarungeng (kebangsawanan), asugireng (kekayaan), dan akkessi-ngeng (ketampanan/kecantikan).

Pergeseran Fungsi

Dewasa ini, Wala Suji yang terbuat dari anyaman bambu, bukan suatu hal yang langka lagi. Ini karena Wala Suji bisa dilihat walaupun tidak ada acara perkawinan atau pesta adat. Jika fungsi dan kegunaan Wala Suji ini, pada awalnya sebagai pallawa atau pagar dan baruga atau pintu gerbang, kini mulai mengalami pergeseran fungsi akibat aspek modernisasi yang menimbulkan pergolakan pada nilai kebudayaan daerah. Sehingga wala suji mengalami sedikit pergeseran fungsi.

Hal tersebut dapat dilihat pada penempatan hasil karya ini. Sejatinya, Wala Suji hanya dipakai pada acara pernikahan atau pesta adat bagi warga Sulawesi Selatan yang masih memegang teguh adat setempat. Namun kini, Wala Suji telah menjadi gerbang permanen bagi rumah-rumah keturunan bangsawan lokal. Bahkan pada beberapa keluarga yang pernah melakukan pesta perkawinan, membiarkan Wala Suji itu tetap berdiri kukuh dalam waktu lama. Padahal semestinya, maksimal digunakan hingga 40 hari pasca-perkawinan atau pesta adat.

Keengganan merubuhkan Wala Suji pasca-upacara perkawinan itu, selain merasa sayang menghancurkan bangunan mini itu karena harga pembuatannya yang mencapai ratusan ribu rupiah. Wala Suji dapat pula difungsikan sebagai tempat bernaung dari panasnya matahari atau derasnya hujan pada musim penghujan.

Sebagian orang yang memiliki Wala Suji ini, justru membuat bangku panjang dari bambu atau kayu di sisi kiri dan kanan bagian bawah Wala Suji, sebagai tempat bersantai. Bahkan sejumlah restoran atau hotel-hotel berbintang di Makassar, juga memasang Wala Suji di lokasi prasmanan atau tempat sajian hidangan dengan alasan menambahkan estetika dekorasi ruangan, sekaligus memperkenalkan salah satu karya seni budaya masyarakat Sulawesi Selatan.

Saturday, October 16, 2010

SYEIKH ABDUL BASHIR

seorang ulama yang buta mata kepalanya, tetapi mata hatinya tetap memandang. Beliau berkemampuan menghasilkan penulisan kitab dan pada masa yang lain beliau juga sanggup mengajar murid-muridnya memahami kitab terutama hasil penulisan gurunya, Syeikh Yusuf Taj al-Khalwati al-Mankatsi.

Beliau juga merupakan ulama yang berasal dari tanah Bugis, Sulawesi Selatan, seperti gurunya Syeikh Yusuf yang sangat terkenal itu. Nama lengkap yang digunakan pada mukadimah salinan Daqaiq al-Asrar ialah asy-Syeikh Abu al-Fathi Abu Yahya Abdul Bashir adh-Dhariri.

Pertama kali saya mengesan nama ulama Bugis yang diriwayatkan ini adalah daripada manuskrip Daqaiq al-Asrar karya beliau yang merupakan koleksi peribadi saya sendiri. Hingga tahun 1980, riwayat hidup ringkasnya hanya terdapat dalam buku Dari Perbendaharaan Lama karangan Buya Hamka terbitan Firma Madju, Medan, 1963. Tanpa perbandingan yang banyak lalu saya muat juga dalam buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara terbitan Al-Ikhlas, Surabaya, 1980. Walaupun riwayat Syeikh Yusuf Tajul Khalwati al-Mankatsi (guru beliau) telah banyak ditulis orang namun maklumat tentang Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri masih sukar dirujuk.

Setakat ini nampaknya yang agak panjang hanyalah ditulis oleh Abu Hamid, seorang sarjana yang berasal dari tanah Bugis dalam buku berjudul Syeikh Yusuf Makassar Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang terbitan Yayasan Obor Indonesia, 1994. Karya Buya Hamka dan karya Bapak Abu Hamid tersebut sangat banyak memberi pertolongan ketika saya menyusun riwayat ini sebagai melengkapi bahan-bahan rujukan karya Syeikh ‘Abdul Bashir adh-Dhariri.

Sebelum membicarakan hal-hal lainnya terlebih dulu di bawah ini saya petik tulisan Buya Hamka. Katanya: “Setelah diberinya ijazah kepada beberapa orang muridnya di antaranya Syeikh Nuruddin Abu al-Fatah Abdul Bashir adh-Dhariri (buta) ar-Rafani (Orang Rapang, Bugis) dan muridnya pula Abdul Qadir Maraeng Majeneng, maka minta izinlah dia meninggalkan Makasar, meskipun bagaimana ditahani, tidak mau ditahan lagi. Berangkatlah dia ke Bantam! Sebab di sana banyak pula muridnya yang telah pernah belajar kepadanya tatkala dia di Makkah.”

Pada nota kaki dalam buku yang sama Buya Hamka mengulas lebih jauh bahawa “adalah buta, sebab itu dihujunginya nama ‘adh-Dharir’.” Tetapi diberi dia nama oleh gurunya Abdul Bashir (hamba daripada yang maha melihat) dan diberi gelar ‘Abu al-Fatah’ yang ertinya orang yang terbuka hatinya dan diberi pula gelar kemuliaan ‘Syeikh Nuruddin’, ertinya Tuan Syeikh Cahaya Agama. ‘Ar-Rafani’ ertinya orang Rapang, sebuah kota kecil di pedalaman Bugis iaitu kira-kira 40 km dari Kota Parepare sekarang, demikian menurut Buya Hamka.
Kalau benar apa yang ditulis oleh Buya Hamka itu bahawa murid Syeikh Yusuf itu adalah buta, ia merupakan suatu perkara yang aneh pada zaman itu kerana orang yang dikatakan buta itu juga meninggalkan karangan, sebuah kitab sufi yang berjudul Daqaiqul Asrar.

Sungguhpun demikian pada zaman kita sekarang tidaklah menjadi aneh lagi kerana dalam sejarah memang terdapat beberapa orang pengarang Islam yang matanya buta. Bahkan orang yang buta ramai yang berfungsi menjalankan pelbagai aktiviti untuk kepentingan hidupnya dan memberi sumbangan yang besar kepada masyarakat.

Khalifah Khalwatiyah

Setelah kita menyemak karangan Buya Hamka seperti tertera di atas, untuk penyelidikan lanjut kita semak pula tulisan Bapak Abu Hamid dalam buku Syeikh Yusuf Makassar Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. Beliau menulis: “Sumber-sumber lontarak pula menyebutkan bahawa yang sudah ikut dalam jajaran ulama tasawuf membuka pengajian dalam Masjid al-Haram.
“Ia dikenal sebagai Ulama Jawi dan beberapa jemaah haji dari Indonesia (Hindia Belanda) pernah berguru padanya. Seorang muridnya dari Sulawesi Selatan yang bernama Abdul Fathi Abdul Bashir adh-Dharir pernah berguru kepadanya di Mekah dan bertemu lagi di Banten, kemudian diberi lagi amanah dan sebagai ‘khalifah’ untuk menyebarkan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan.”

Abdul Bashir lebih dikenal dengan gelaran Tuang Rappang I Wodi, sedangkan di Gowa sering disebut sehetta (syeikh kita) (hlm. 94). Pada halaman lain Bapak Abu Hamid menulis, “Tuang Rappang dikahwinkan oleh Syeikh Yusuf dengan seorang gadis Banten.”

Tuang Rappang merupakan seorang buta, dia mencintai isterinya dan dicintai pula. Perjalanannya kembali ke Gowa bersama isterinya memakai sebuah perahu kecil, sesudah dia diberi ijazah tarekat dan amanah untuk mengajarkan Thariqat Khalwatiyah di Gowa oleh Syeikh Yusuf (hlm. 136). Menurut Bapak Abu Hamid, setelah beberapa tahun Syeikh Abu al-Fathi Abdul Bashir Tuang Rappang mengajar dan menyebarkan Thariqat Khalwatiyah, beliau mengangkat pula seorang guru, Abdul Qadir Karaeng Majanng, Mangkubumi Kerajaan Gowa pada masa Raja I Mallawagau, Sultan Abdul Khaer (1735 - 1737 M). Menurut Bapak Abu Hamid juga menyebut bahawa Khalifah Khalwatiyah dilanjutkan kepada Muhammad Abdul Wahid ibnu Abdul Ghaffar al-Makassari.

Bapak Abu Hamid membahagi dua aliran Thariqat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Yang pertama ialah Thariqat Khalwatiyah Yusuf yang disebarkan oleh Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri, murid Syeikh Muhammad Yusuf Abul Muhasim ibnu Abdullah Khaidir Tajul Khalwati al-Makassari, wafat tahun 1699 M (hlm. 52). Yang beliau maksudkan dengan Abdullah Khaidir ialah ayah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati.

Sekian banyak buku mengenai ulama tersebut tetapi yang mengukuhkan, membahas dan banyak menyebut nama ayah Syeikh Yusuf ialah Abdullah Khaidir hanya Bapak Abu Hamid. Maklumat ini juga satu penyelesaian kebuntuan ilmiah yang berjalan sudah begitu lama. Selanjutnya Bapak Abu Hamid menyebut bahawa “Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri, lazim disebut Tuang Rappang.”

Satu lagi ialah Thariqat Khalwatiyah Samman yang disebarkan oleh Syeikh Abdul Munir Syamsul Arifin, murid Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Thariqat Khalwatiyah Samman mulai masuk di Sulawesi Selatan tahun 1204 H/1820 M (hlm. 51-52). Di sini juga perlu diperbetulkan. Tahun 1204 H adalah bersamaan tahun 1789 M ataupun 1790 M.
Thariqat Khalwatiyah-Sammaniyah dipelopori oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani, guru kepada Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Mengenai ini dapat dirujuk kepada karya-karya ulama yang berasal dari Palembang itu.

Penulisan

Syeikh Abdul Bashir Adh-Dhariri kemungkinan menghasilkan beberapa buah karangan tentang ilmu tasawuf, tetapi dalam koleksi saya hanya terdapat sebuah. Yang ada pada saya masih dalam bentuk salinan manuskrip, ditulis dalam bahasa Arab. Judul lengkapnya ialah Daqaiq al-Asrar fi Tahqiq Qawa'id as-Sirriyah. Nama penyalin ialah Abu Bakar, Khatib Bone, yang berkedudukan di Negeri Palakka. Selesai melakukan penyalinan pada waktu Dhuha, hari Rabu, 9 Zulkaedah 1233 H/10 September 1818 M.

Asy-Syeikh Abu al-Fath Abu Yahya Abdul Bashir adh-Dhariri menjelaskan bahawa dikarangnya kitab itu adalah sebagai peringatan atas putera saudaranya yang dikatakan mempunyai kemegahan, yang mempunyai keagungan namanya ialah Sultan Idris al-Mudarris al-Buni (Bone, Bugis).

Pada pembukaan kitab pengarangnya menyebutkan bahawa kitabnya itu membicarakan tentang “tawajjuh, muraqabah, musyahadah, muhadharah dan mu’ayanah” iaitu jalan bagi Ahlillah al-‘Arifin daripada golongan Ahlil Kasyaf dan Zauq. Beliau menjelaskan pula tentang beberapa kalimat pada kadar yang mudah bagi menghampirkan kefahaman dan menghuraikan isyarat-isyarat dan menjelaskan ibarat-ibarat.

Pertama sekali yang dibicarakan ialah tentang istilah ‘tawajjuh’. Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri menggunakan hujah ayat al-Quran, yang maksudnya bahawa “Maka di mana saja kamu memalingkan pandangan maka di sana kamu mengenali Allah.” Beliau beri pengertian, yang terjemahan maksudnya, adalah “Wajib kamu i'tiqadkan firman tersebut, bahawa Allah Taala berada di mana saja kamu hadapkan mukamu, sama saja sama ada kamu berasa dekat kepada-Nya dan kamu menjauhkan diri daripada-Nya.”

Sesudah memberi pengertian tentang ‘muraqabah’ dan ‘musyahadah’, Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri menjelaskan pengertian ‘muhadharah’. Menurut beliau, “Kehadiran hati (qalbi, pen:) pada Hadhrat Allah Azza Wa Jalla pada pandangan syuhud dan wijdannya dengan terangkat hijab. Ketika itu tiadalah hijab (satu dinding, pen:) yang mengantarai antaranya dan Allah.”

Dilanjutkan pula dengan ‘mu’ayanah’ yang ditakrifkan “Fana seseorang hamba akan dirinya, sifatnya, perbuatannya, dan semua hal-halnya kerana nyata Allah Taala atasnya dan telah sebati dengan tajalli baginya.”

Yang dimaksudkan dengan kalimat ini pada pandangan ahli akidah yang bukan sufi adalah benar-benar kenal kepada Allah dengan memperhatikan alam yang dijadikan oleh Allah. Tidak kecuali sama ada alam sufliyi mahupun alam 'alawiyi. Sama ada alam shaghir (alam kecil) mahupun alam kabir (alam besar).

Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri menyambung kalimat di atas bahawa “Maka pada ketika itu, tiadalah ia memandang di mana, tiada dari mana, tiada bila, dan tiada kepada....” Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri menyebut perkataan ahli sufi yang demikian akan beliau bicarakan pada waktu yang lain.

Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri menegaskan bahawa “Tiada sempurna sembahyang seseorang melainkan dengan ilmu, ma’rifah, dan i’tiqad yang tsabit pada zahir dan batin.”
Ditegaskan lagi bahawa “Sesungguhnya semata-mata berpegang dengan zahir sahaja adalah hampa dan kurang pahala. Dan semata-mata berpegang dengan batin adalah batal, tiada sah.”
Masih dalam bahasan bahagian ini, Syeikh Abdul Bashir adh-Dhariri memberi perbandingan bahawa “Sebagaimana manusia, tiadalah dinamakan manusia, melainkan dengan roh. Tiadalah semata-mata jasad dengan ketiadaan roh. Demikian sebaliknya tiadalah semata-mata roh saja tanpa jasad. Kesempurnaan salah satu daripada kedua-duanya dengan ada yang lain. Dan kekurangan salah satu daripada keduaduanya dengan ketiadaan yang lain. Demikianlah sembahyang jika semata-mata zahir adalah seperti qias manusia berdiri ataupun duduk ketiadaan roh.

Kandungan kitab Daqaiq al-Asrar adalah sangat mendalam, selain yang tersebut di atas ia juga membicarakan percakapan antara hamba dengan Allah ketika membaca Al-Fatihah dan hingga selesai sembahyang.

Di dalamnya mengupas juga pembahagian Qiblat ada empat, iaitu pertama dinamakan ‘Qiblat Amal’, kedua ‘Qiblat Ilmi’, ketiga ‘Qiblat Asrar’, dan keempat ‘Qiblat Tawajjuh’. Semuanya dikupas secara mendalam.

Asal Usul Bugis di Malaysia

Sebaik sahaja Raja Bugis menerima utusan dari Raja Sulaiman, angkatan tentera Bugis terus datang dengan 7 buah kapal perang menuju ke Riau. Raja Kechil telah ditumpaskan di Riau dan melarikan diri ke Lingga dalam tahun Hijrah 1134. Sebagai balasan, Raja Sulaiman telah bersetuju permintaan Raja Bugis dimana  mereka mahukan supaya raja-raja Bugis dilantik sebagai Yamtuan Besar atau Yang Di-Pertuan Muda, bagi memerintah  Johor, Riau and Lingga secara bersama jika semuanya dapat ditawan.
Setelah Bugis berjaya menawan Riau, Raja Sulaiman kemudiannya pulang ke Pahang, manakala raja Bugis pula pergi ke Selangor untuk mengumpulkan bala tentera dan senjata untuk terus menyerang Raja Kechil. Semasa peninggalan tersebut, Raja Kechil telah menawan semula Riau semasa raja Bugis masih berada di Selangor.
Setelah mendapat tahu Riau telah ditawan oleh Raja Kechil, Bugis terus kembali dengan 30 buah kapal perang untuk menebus semula Riau, semasa dalam perjalanan menuju ke Riau, mereka telah menawan Linggi (sebuah daerah di Negeri Sembilan) yang dikuasai oleh Raja Kechil. Setelah Raja Kechil mendapat tahu akan penawanan itu, baginda telah datang ke Linggi untuk menyerang balas.
Pehak Bugis telah berpecah dimana 20 buah dari kapal perangnya meneruskan perjalanan menuju ke Riau dan diketuai oleh 3 orang dari mereka. Raja Sulaiman telah datang dari Pahang dan turut serta memberi bantuan untuk menawan semula Riau. Dalam peperangan ini mereka telah berjaya menawan kembali Riau dimana kemudiannya Raja Sulaiman dan Bugis telah mendirikan kerajaan bersama.
Setelah mengetahui penawanan Riau tersebut, Raja Kechil kembali ke Siak kerana baginda juga telah gagal menawan semula Linggi dari tangan Bugis. Hingga kini Linggi telah didiami turun-temurun oleh keturunan Bugis dan bukan daerah Minangkabau.
Pada tahun 1729, Bugis sekali lagi menyerang Raja Kechil di Siak dimasa Raja Kechil ingin memindahkan alat kebesaran DiRaja Johor (Sebuah Meriam) ke Siak. Setelah mengambil semula kebesaran DiRaja tersebut, Raja Sulaiman kemudiannya ditabalkan sebagai Sultan Johor dengan membawa gelaran Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah yang memerintah Johor, Pahang, Riau, and Linggi.
Sultan Sulaiman telah melantik Daeng Marewah sebagai Yamtuan Muda Riau. Kemudian adik perempuannya Tengku Tengah pula dikahwinkan dengan Daeng Parani yang mana telah mangkat di Kedah semasa menyerang Raja Kechil disana.  Seorang lagi adik Sultan Sulaiman Tengku Mandak dikahwinkan dengan Daeng Chelak ( 1722-1760) yang dilantik sebagai Yamtuan Muda II Riau 1730an. Kemudian anak Daeng Parani, Daeng Kemboja dilantik menjadi Yamtuan Muda III Riau (yang juga memerintah Linggi di Negeri Sembilan).
Anak Daeng Chelak, Raja Haji dilantik sebagai Yamtuan Muda IV Riau dimana baginda telah hampir dapat menawan Melaka dari tangan Belanda dalam tahun 1784 tetapi akhirnya baginda mangkat setelah ditembak dengan peluru Lela oleh Belanda di Telok Ketapang, Melaka. Baginda telah dikenali sebagai Al-Marhum Telok Ketapang.
Dalam tahun 1730an, seorang Bugis bernama Daeng Mateko yang berbaik dengan Raja Siak mengacau ketenteraman Selangor.
Ini menjadikan Daeng Chelak datang ke Kuala Selangor dengan angkatan perang dari Riau. Daeng Mateko dapat dikalahkan kemudiannya beliau lari ke Siak. Dari semenjak itulah daeng Chelak sentiasa berulang-alik dari Riau ke Kuala Selangor. Lalu berkahwin dengan Daeng Masik Arang Pala kemudian dibawa ke Riau.
Ketika Daeng Chelak berada di Kuala Selangor penduduk Kuala Selangor memohon kepada beliau supaya terus menetap di situ sahaja. Walau bagaimana pun Daeng Chelak telah menamakan salah seorang daripada puteranya iaitu Raja Lumu datang ke Kuala Selangor. Waktu inilah datang rombongan anak buahnya dari Riau memanggil Daeng Chelak pulang ke Riau dan mangkat dalam tahun 1745.

Wednesday, October 13, 2010

BUGIS

Orang Bugis berasal dari kepulauan Sulawesi di Indonesia, dan kini dengan populasi seramai tiga juta, mendiami hampir kesemua kawasan di Sulawesi Selatan. Penaklukan Belanda pada kurun ke-17 menyebabkan sebahagian daripada mereka berpindah dan kini telah bercampur dengan suku lain di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Semenanjung Malaysia dan Sabah,Sarawak, Menurut sumber secara lisan tidak bertulis yang lain pula sememangnya suku Bugis(buqis Kapal) dan suku Ugi dari kepulauan Sulawesi adalah berbeza. Bugis adalah berasal dari perkataan beribukan puteri Balqis(isteri kepada nabi Sulaiman)Permaisuri kerajaan Saba'(sheba). Mereka adalah pedagang rempah2, kemenyan atau kemian dan lain-lain di antara tanah Hadramaut, Yaman sehingga ke Tanah Ugi(Sulawesi) di Pandjung Luwuk semenjak beratus-ratus tahun sebelum Masehi lagi. Mereka adalah sangat berpegang teguh kepada ajaran Agama Islam sehingga salah seorang ketua kapal mereka yang terkenal Tuan Hj Besar Daeng Selili Pancung tanpa Tanya Matindro ri Kuala Kangsar telah dilantik menjadi mufti Perak(1745) dalam mengawal perlaksanaan hukum hudud di Negeri Perak pada zaman pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (III) (1728-1756) oleh kerajaan Uthmaniyah Turki.
Sebagai pengetahuan am bertulis yang dikawal oleh british bahawasanya, etnik Bugis cukup terkenal di dalam bidang maritim di Kepulauan Melayu dan di dalam bidang ekonomi. Mereka juga terkenal sebagai pahlawan yang berani, lanun yang digeruni(digelar dengan teknik propaganda yang berjaya oleh pesaing seperti Belanda dan inggeris.) dan pedagang yang berjaya. Pusat tumpuan utama bagi kebudayaan dan ekonomi etnik ini adalah Ujung Pandang atau dikenali sebagai Makassar. Orang Bugis juga merupakan penganut agama Islam.

salam perkenalan

Assalamualaikum... aga kareba ank2 bugis..
tujuan blog tidak rasmi Persatuan Anak Bugis Selangor ini dibuat adalah untuk mengeratkan silaturahim di antara anak-anak bugis yang berada di selangor. Klu korang bkn dari selangor pown x per janji korang keturunan BUGIS lagi bagus. Sbb banyak perancangan akk dibuat jika kita ramai ahli, Diharap blog ini dapat mengeratkan silaturahim diantara kita semua.  Pada Idi Anak Bugis